A. Latar Belakang Untuk memberantas tindak pidana Narkotika, Indonesia telah men

A. Latar Belakang
Untuk memberantas tindak pidana Narkotika, Indonesia telah men

A. Latar Belakang
Untuk memberantas tindak pidana Narkotika, Indonesia telah mengupayakan seperangkat pengaturan guna mencegah dan menindak lanjuti tindak pidana penyalahgunaan Narkotika, dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Beberapa materi dalam UU Narkotika menunjukkan adanya upaya-upaya dalam memberikan efek Psikologis kepada masyarakat, Undang-Undang Narkotika memberikan ancaman pidana maksimum bagi pelaku kejahatannya, yaitu pidana mati, agar masyarakat tidak mempunyai niat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan sadar bahwa mereka dapat dijatuhi pidana mati
Sanksi pidana mati dalam hukum Indonesia bukanlah sesuatu yang asing. Pidana mati sudah lama diterapkan di Indonesia, eksistensi pidana mati sendiri telah lama dikenal dan diterapkan dalam kebanyakan hukum adat di Indonesia. Pidana mati sendiri telah dikenal sejak zaman kerajaan, hal ini dibuktikan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana yang diberikan oleh Para Raja terdahulu. Pidana mati merupakan pidana yang dilaksanakan dengan merampas nyawa seseorang yang melanggar ketentuan dalam Undang-Undang
Dalam Undang-Undang Narkotika, Pasal 114 Ayat (2) yang berbunyi, “Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika golongan 1 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 kg atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati”. Terhadap pelaku sebagai pengedar dimungkinkan dijatuhkan sanksi pidana mati, seperti yang suda di terangkan dalam Pasal diatas juga disesuaikan dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa. Tindak pidana Narkotika sudah merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meskipun sudah banyak penjatuhan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika tetapi pada kenyataannya tetap saja masih banyak tindak pidana Narkotika yang terjadi di Indonesia, seolah-olah mereka acuh dan mengabaikan betapa berisikonya apabila mereka terus berada dalam lingkaran tindak pidana Narkotika, padahal pidana mati telah menanti mereka.
Pidana mati juga diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksi pidana mati dapat diberikan oleh hakim setelah melakukan pertimbangan dengan sebaik-baiknya berdasarkan fakta hukum dalam persidangan dan alat bukti yang cukup sehingga hakim dapat memberikan sanksi pidana mati kepada terdakwa yang melakukan kejahatan berat dan luar biasa.
Salah satu kejahatan tingkat berat adalah peredaran gelap Narkotika yang dapat merusak cita-cita dan masa depan generasi penerus bangsa.
Kejahatan peredaran Narkotika sudah menjadi kejahatan transnasional yang dilakukan antar negara tanpa batas dan wilayah. kejahatan yang paling mematikan karena sasaran utamanya adalah generasi muda.
Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007, dijelaskan bahwa penerapan sanksi pidana mati bagi para pelaku tindak pidana Narkotika tidak melanggar hak asasi manusia, akan tetapi justru para pelaku tersebut yang telah melanggar hak asasi manusia (HAM) lain, yang memberikan dampak terhadap kehancuran generasi di masa yang akan datang. Bahkan Mahkamah Konstitusi berpendapat tidak terdapat kewajiban hukum Internasional apapun yang lahir dari Perjanjian Internasional yang dilanggar oleh Indonesia dengan memberlakukan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika itu.
Sebaliknya, pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap kejahatan-kejahatan dimaksud justru merupakan salah satu konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Narkotika dan Psikotropika sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Ayat (6) Konvensi Narkotika dan Psikotropika, yang intinya bagi pihak yang dapat memaksimalkan efektivitas penegakan hukum dalam kaitan dengan tindak pidana yang berkaitan dengan Narkotika dan Psikotropika dengan memperhatikan kebutuhan untuk mencegah kejahatan yang dimaksud.
Penjatuhan sanksi pidana mati memang dianggap sebagai upaya yang cukup memberikan efek jera dan rasa takut bagi para pelaku potensial yang belum tertangkap. Tapi pada kenyataannya tidak ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa sanksi pidana mati efektif dalam memberantas tindak pidana Narkotika, justru data yang dihimpun BNN menunjukkan peningkatan drastis selama 11 tahun terakhir. Telah dilakukannya eksekusi pidana mati juga belum memberi pengaruh apapun dalam menurunkan angka kasus tindak pidana Narkotika di Indonesia. Lantas apakah pidana mati akan terus menjadi satu-satunya upaya terakhir dalam memberantas Narkotika atau ada upaya lain ya.ng lebih humanis dan mengutamakan hak hidup dalam (HAM), inilah yang menjadi pertanyaan besar masyarakat untuk pemerintah terkait upaya pemberantasan tindak pidana Narkotika.
Ketidakharmonisan tersebut juga nampak karena Indonesia ikut menandatangani Deklarasi Universal HAM dan meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik melalui UU No 12 Tahun 2005 yang secara tegas menyatakan hak atas hidup adalah hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan negara berkewajiban untuk memberi jaminan perlindungannya.
Perkembangan HAM dan kencangnya gerakan Abolisionis, dalil yang menciptakan hukum pidana yang lebih manusiawi, gerakan anti pidana mati di Indonesia semakin kencang ketika Amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Repoblik Indonesia Tahun 1945, (UUD NRI 1945) melegitimasi Norma HAM dalam Konstitusi. Salah satu faktor yang menginspirasi penghapusan pidana mati di Indonesia, adalah Sistem Hukum pidana di Belanda sebagai sumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), akan tetapi Belanda telah menghapus pidana mati sejak tahun 1870.
Ketidakefektivan berbagai aturan mengenai hak hidup dan sanksi pidana mati Nakotika telah memperluas ruang perdebatan terhadap pelaksanaan sanksi pidana mati Narkotika di Indonesia. Perdebatan itu menghasilkan Pro kontra terhadap sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika. Kelompok yang Pro sanksi pidana mati beragumentasi bahwa sanksi pidana mati berfungsi sebagai efek jerah yang membuat orang tidak melakukan kejahatan serupa sehingga terciptalah ketenangan dan ketentraman di tengah masyarakat.
Secara teoritik, hukum HAM pada dasarnya mengatur hubungan antara Individu-Individu dengan Negara. HAM telah disepakati sebagai hukum Internasional yang telah menjadi standar yang kuat bagaimana Negara harus memberlakukan individu-individu di dalam wilayah yurisdiksinya. HAM memberikan jaminan moral dan hukum kepada individu–individu setiap manusia untuk melakukan kontrol dan mendorong aturan dan praktek-praktek kekuasaan yang menghormati HAM, memastikan adanya kebebasan individu yang berhubungan dengan negara dan meminta negara untuk memenuhi hak-hak dasar individu dalam wilayah yurisdiksinya.
Dalam konteks ini, negara dapat ditegaskan sebagai petugas dan pemangku kewajiban (duty-bearer) untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil), sedangkan individu yang berdiam dalam wilayah yurisdiksinya adalah sebagai pemangku hak (rights holder) daripada kewajiban dan tanggungjawab negara. Eksistensi tanggungjawab negara terhadap jaminan pemenuhan dan perlindungan HAM, tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok HAM yang menjadi acuan Standar pelaksanaan HAM secara Internasional dan Nasional. Hal ini yang membuat sehingga beberapa negara yang sebelumnya menerapkan pidana mati dalam kasus Narkotika, telah mengubah kebijakan mereka dan mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi.
Berbicara mengenai HAM dalam kehidupan demokrasi terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari orang hingga masyarakat awam, HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (Negara) harus menghormati dan melindunginya.
Problematika secara filosofis selanjutnya terkait Putusan Majelis Hakim yang belum mencerminkan penerapan prinsip equality before the law terhadap penyalagunaan Narkotika (bukan sebagai pengedar atau bandar). Selayaknya terhadap Putusan yang seragam, yakni Rehabilitasi bagi penyalaguna dan sanksi pidana bagi pengedar dan bandar, jaminan perlindungan hukum yang mengarah kepada Hak “hak hidup”, juga sejalan dengan amanah Deklarasi Human Right. Sala satu unsur penting dalam hukum adalah substansinya yang patut memuliakan manusia, dalam bahasa Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) disebut sebagai kehormatan manusia (Human Dignity). Berbagai peristiwa yang mengganggu nilai asasi manusia diakibatkan oleh praktek buruk dan penggunaan hukum sekedar untuk melayani kemauan penguasa.
Pada tahun 2016 Pengadilan Negeri Semarang telah menjatuhkan 14 kasus pidana mati, yang mana 10 diantaranya masih ditunda eksekusinya sedangkan 4 telah dieksekusi mati, pada hari jumat 29 juli 2016. Mereka yang telah dieksekusi mati adalah Freddy Budiman, Humprey Jefferson, Michael Titus Igweh, dan seck Osmane. Menurut Noor Rachmat, Jaksa Agung muda Pidana Umum, banyak pertimbangan yang diambil mengapa hanya 4 terpidana yang dieksekusi terlebih dahulu, salah satu alasanya karena mereka telah melakukan impor Narkotika dalam jumlah yang sangat fantastis sehingga pemerintah belum mengeksekusi 10 orang ini.
Perlakuan, Persamaan, Perlindungan dan jaminan dihadapan hukum bagi setiap orang di dalam Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI), secara umum lebih dikenal dengan equality before the law. Persamaan kedudukan dihadapan hukum, dalam pelaksanaannya bukan hanya kepada perbuatan negara kepada warganya, namun tindakan yang muarannya pada kepastian hukum yang berkeadilan. Sedangkan persamaan kedudukan dalam perlindungan hukum, belum dilihat suatu bukti nyata dalam penerapannya. Perlindungan hukum berkeadilan hanya bagi orientasi makna kepentingan masyarakat saja namun belum bagi kepentingan individu yang dijerat dengan sanksi pidana mati dalam kausus penyalagunaan Narkotika.
Isu penegakan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika terus menjadi sorotan dan mendapatkan perhatian di tingkat Nasional maupun Internasional. Negara-negara yang masih menerapkan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika dapat mengalami reformasi kebijakan di masa depan. Hal ini bisa berupa pengurangan penggunaan sanksi pidana mati dalam kasus Narkotika, penghapusan pidana mati, atau penerapan alternatif lain dalam penerapan hukum terkait Narkotika. Perubahan ini mungkin dipicu oleh perubahan opini publik, keputusan Pengadilan, atau tekanan Internasional.
Moratorium dan peninjauan: negara-negara yang masih memberlakukan pidana mati dalam kasus Narkotika dapat mempertimbangkan pemberlakuan moratorium sementara atau peninjauan terhadap kebijakan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengevaluasi efektivitas pidana mati dalam mencapai tujuan penegakan hukum dan dampaknya terhadap HAM.
Peningkatan fokus pada rehabilitasi: terlepas dari kebijakan terkait sanksi pidana mati, penekanan pada rehabilitasi dan pemulihan individu yang terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika dapat menjadi fokus yang lebih besar di masa depan.
Negara dapat mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk layanan rehabilitasi, program pemulihan, dan reintegrasi sosial bagi mereka yang terjerat dalam penyalahgunaan Narkotika, sebagai alternatif bagi sanksi pidana mati. Sehingga rehabilitasi adalah upaya yang tepat untuk memulihkan dan mengembalikan kondisi para penyalahgunaan Narkotika agar para penyalagunaan Narkotika kembali sehat dalam arti sehat Fisik, Psikologik, Sosial dan Spiritual/Agama. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya sehati-hari baik di Rumah, di tempat kerja dan di lingkungan sosialnya.
Perumusan ancaman pidana mati dalam UU Narkotika, merupakan bagian dari pidana khusus yang diatur secara spesifik untuk kasus-kasus Narkotika. Pidana mati tidak lagi dianggap sebagai pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus yang diberlakukan dalam konteks Narkotika guna memberikan sanksi lebih berat terhadap pelanggaran tindak pidana Narkotika. Perubahan status pidana mati dari pidana pokok menjadi pidana khusus dianggap mencerminkan ketegasan legislator terhadap penyalagunaan Narkotika yang dianggap merugikan masyarakat secara luas, pidana mati diharapkan dapat menjadi deterrence dan sanksi yang lebih berat sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan peredaran Narkotika. Penting untuk terus memantau perkembangan perundang-undang dan penegakan hukum terkait Narkotika, untuk mengatasi kompleksitas ini, pemerintah telah berupaya membuat KUHP yang baru untuk mengatasi problematika terkait pidana mati yang dianggap sebagai pidana khusus dalam pelaksanaannya tidak lagi dilakukan secara ototomatis. Atau putusannya tidak bersifat inkra, namun terpidana membutuhkan waktu sepulu tahun tahun untuk dieksekusi.
Berdasarkan problematika hukum diatas maka Peneliti tertarik untuk melakukan Penelitian dengan judul. “(ANCAMAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA, (STUDI DARI PERSPEKTIF PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA)”
A. Rumusan Masalah.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:
1) Apakah ancaman pidana mati masih relevan dipertahankan dalam kasus Narkotika di Indonesia
2) Bagaimana mengkonstruksikan pola ancaman pidana mati yang dianut di Indonesia, terhadap pelaku tindak Pidana Narkotika.

B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan Proposal Penelitian ini adalah
1) Untuk mengkaji, menganalisis, dan membahas perkembangan praktek penggunaan pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika.
2) Untuk mengkaji, menganalisis dan mebahas manfaat tindak pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika
C. Kegunaan Penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui perkembangan tindak pidana mati dalam kasus Narkotika dan ancaman pidana mati dalam perspektif hukum pidana di Indonesia.
2) Untuk mengetahui Putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika dan bagaimana manfaat pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika.
E. Kerangka Teoritik.
1) Teori Penegakan Hukum.
Penegakan Hukum adalah proses yang dilakukan dalam menegakan fungsi aturan maupun norma nyata sebagai petunjuk setiap perilaku masyarakat dalam bernegara. Penjelasan dari penegak hukum dapat juga memiliki arti penyelenggarakan hukum yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dan kepada masing-masing orang yang memiliki kepentingan yang sesuai pada tugas kewenangannya sendiri-sendiri menurut hukum yang berlaku. Andi Hamzah berpendapat bahwa istilah penegakan hukum sering disalah artikan seakan-akan hanya bergerak di bidang hukum pidana saja atau hanya dibidang represif. Penegakan hukum dalam hal ini tidak hanya dalam bertangkup perwujudan hukum (law enforcement) namun juga meliputi tindakan prefentif merupakan arti penataan Peraturan Perundang-Undangan
Penegakan hukum merupakan perhatian dari perbuatan atau tindakan yang melawan hukum yang telah terjadi (onrecht in actu) atau juga perbuatan hukum yang mungkin belum terjadi (onrecht in potentie). Menurut Jimly Asshiddiqie, SH, penegakan hukum adalah proses yang dilakukan dalam upaya untuk berdirinya atau berperannya norma atau aturan hukum secara konkret sebagai tuntutan perilaku hubungan hukum yang dilakukan setiap masyarakat dan Negara.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah dan tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup, sesuai uraian diatas, maka yang dimaksud dengan penegakan hukum ialah suatu peraturan norma-norma sebagai pedoman dalam setiap perilaku masyarakat. Pedoman itu merupakan sistem agar setiap perilaku masyarakat menjadi terkontrol sehingga menciptakan, memelihara, dan mempertahakan kedamaian.
Inti dari pengartian penegakan hukum terletak pada bagiamana suatu aturan norma-norma itu menciptakan keharmonisan hubungan nilai-nilai didalam kaidah yang baik agar menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian didalam masyarakat dan negara. Penegakan hukum pidana yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparatur penegak hukum yang merujuk pada pelaksanaan peraturan-peraturan yang diatur didalam hukum pidana. Menurut Moeljatno menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana yang mengatakan bahwa penegakan hukum adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan unsur-unsur dan aturan-aturan yaitu;
a) Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh di lakukan dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
b) Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
1. Teori Pemidanaan.
Teori-teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalamperkembangan hukum mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam perkembangannya, tujuan pemidanaan dan pemidanaan memiliki pandangan-pandangan tersendiri yang mengalami perubahan-perubahan dari waktu ke waktu dengan berbagai aliran atau penggolongan sebagai berikut:
a) Aliran Klasik berfaham Indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganutsingle track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana, sebab doktrin dalam aliran ini adalah pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran.
b) Aliran Modern atau aliran positif bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya Individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh UU, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi Yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial.
c) Aliran Neo Klasik beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle ofextenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif.
Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana. Disamping munculnya aliran-aliran hukum pidana tersebut muncullah teori-teori tentang pemidanaan beserta tujuannya masing-masing teori pemidanaan dan tujuan pemidanaan yang ditawarkan dalam perkembangan hukum mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan
2. Teori Pertanggujawaban Hukum
a) Perbuatan asas Legalitas
Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah keadilan adalah legalitas, dimana suatu peraturan umum adalah adil apabila diterapkan sesuai dengan aturan tertulis yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah agar tercipta negara hukum di mana pengertiannya adalah negara berdasarkan hukum yang menjamin keadilan dan perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara berdasarkan hukum atau dalam konteks negara hukum Indonesia yaitu negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi HAM serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak tekecuali.
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi
Asas legalitas termasuk asas yang boleh dikatakan sebagai tiang penyangga hukum pidana. Asas ini tersirat didalam Pasal 1 KUHP yang dirumuskan demikia;
1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
2) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Perundang-Undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi Terdakwa.
b) Pelaksanaan Asas Culpabilitas atau kesalahan.
Asas Culpabilitas, juga dikenal sebagai prinsip kesalahan, adalah prinsip hukum yang mengacu pada ide bahwa seseorang hanya dapat dihukum jika dia bersalah secara sadar atau bersalah secara sengaja melakukan tindakan yang melanggar hukum. Ini adalah asas fundamental dalam sistem hukum banyak negara, termasuk hukum pidana.
c) Pemidanaan asas monodualistik atau keseimbangan.
Pancasila sebagai dasar negara merupakan pokok-pokok pikiran yang mengandung cita-cita hukum dan menjadi sumber tertib hukum, pelaksanaannya melalaui UUD NRI Tahun 1945 yang dinyatakan sebagai dasar hukum, sehinggga setiap produk hukum yang mana diantaranya peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah berpedoman atas dasar dari padanya yang tidak boleh bertentangan. Diundangkannya UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika), maka pelaku tindak pidana khusus dimana keberadaannya diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka baik pengguna, pengedar dan hukum narkotika dapat dilakukan penangkapan sesuai dengan ketentuan pada sistem peradilan pidana terpadu, dimana kewenangan polisi dan badan Narkotika nasional melalui penyidik berhak membuat berita acara pemeriksana terdakwa untuk diserahkan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum dan dilanjutkan pada tingkat Pengadilan Negeri dalam persidangan terdakwa untuk mendapatkan putusan, apakah Pengadilan di dalam pemeriksaan lanjutan dan atas kewenangannya membirikan kekuatan hukum tetap, sehingga menjadi terpidana untuk ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan sebagai narapidana yang menjadi bagian dari warga binaan.
Pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari hukum pemidanaan memuat hak-hak narapidana sebagai warga binaan pemasyarakatan melalui pembinaan dan bimbingan yang seoptimal mungkin dapat berfungsi sebagai penghubung dengan masyarakat luar, sehingga secara aktif dapat meningkatkan program masa pentahapannya.
F. Metode Penelitian
1) Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, adapun yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder saja. Sedangkan pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, adapun yang dimaksud dengan pendekatan Perundang-Undangan adalah menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diketengahkan. Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan dalam rangka penelitian hukum untuk kepentingan praktis maupun penelitian hukum untuk kepentingan akademis.
2) Pendekatan Masalah
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan Undang-Undang (statute approach) yang merupakan penelitian yang mengutamakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan acuan dasar dalam melakukan penelitian. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah meyuburkan praktek penyimpangan baik dalam teknis atau dalam pelaksanaan dilapangan.
Pendekatan Konseptual (conceptual approach) untuk mengidentifikasi dan memahami segala konsep-konsep hukum yang ditemukan dalam doktrin-doktrin maupun pandangan-pandangan para sarjana. Serta pendekatan kasus yang bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Pidana mati telah menjadi bagian dari sistem pidana Indonesia sejak masa colonial Belanda. Setelah merdeka, pidana mati tetap ada dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari pemerintah Colonial. Meskipun demikian, penggunaan sanksi pidana mati telah mengalami perubahan.
Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia mengeluarkan moratorium terhadap eksekusi pidana mati sebagai tanggapan terhadap kritik Internasional. Namun, pada 1997, moratorium tersebut dicabut dan eksekusi pidana mati kembali dilakukan.
Sejak saat itu, ada beberapa revisi terhadap KUHP, termasuk yang terkait dengan pidana mati. beberapa kasus kontroversial eksekusi pidana mati telah menarik perhatian masyarakat luas. Meskipun demikian, penggunaan pidana mati terus berlanjut dalam beberapa kasus yang dianggap sebagai kejahatan serius, seperti Narkotika.
Perkembangan terkini mungkin melibatkan diskusi lebih lanjut tentang efektivitas dan keadilan pidana mati di Indonesia, serta dampaknya terhadap hubungan diplomatic dengan negara – negara yang menentang pidana mati.
3) Sumber bahan hukum.
a) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang mempunyai otoritas yang terdiri atas Peraturan Perundang-undangan. Sehubungan dengan itu maka bahan hukum primer yang dipakai adalah;
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
5) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer yang berasal hasil karya para sarjana yang didapatkan dari instansi, buku-buku tejs, kamus hukum yang dijadikan sebagai referensi sebagai penunjang penelitian ini.
c) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum yang digunakan untuk mendukung bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus hukum, insklopedia hukum (legal enyclopedias) dan sebagainya yabg djadikan sebagai referensi untuk menunjang penelitian ini
1) Teknik Pengumpulan dan Pengolaan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah teknik pengumpulan bahan sekunder yang dilakukan melalui studi pustaka . dengan cara membrowsing di internet dan membaca buku-buku, dokumen resmi, publikasi, hasil penelitian, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan masalah yang hendak diteliti
2) Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu penelitian, karena hendak menjawab semua persoalan yang muncul dari pokok permasalahan yang ada. Setelah bahan hukum terkumpul dapat dilakukan analisis. Dalam penulisan ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yang didasarkan pada sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, Analisa data terhadap data primer dan data sekunder berdasarkan kepustakaan dengan tujuan untuk mendeskripsikan hasil berdasarkan data yang konkrit dari sumber bahan hukum sekunder maupun primer yang digunakan.
BAB II
Pidana Mati Di Indonesia
A. Pidana mati dan pengaturannya dalam KUHP maupun peraturan lainnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah Indonesia telah menyampaikan argument penerapan hukuman mati yang masih terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan Indonesia.
Pengertian tindak pidana/delik dapat diuraikan sebagaimana dikemukakan oleh Adam Chazawi sebagai berikut: (1) Menurut hakim delik adalah suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-Undang (pidana); (2) Moeljato mengatakan bahwa suatu strafbaarfeit itu sebenarnnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Perundang-Undangan; (3) istilah starfbaarfeit kemudian diterjemahkan kedelam bahasa Indonesia oleh Rusli Effendi delik adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam pidana terhadap siapa yang melanggar larangan tersebut. Penerapan norma dalam tindak pidana Narkotika bagi pecandu dan korban penyalahguna Narkotika diakibatkan adanya delik, terutama saat ditetapkan pidana penjara bagi penyalahguna. Delik pecandu Narkotika dan korban penyalahguna secara hukum perbuatan pecadu Narkotika dan menjadi korban penyalagunaan yang menjadi tindak pidana, dapat mengakibatkan penghukuman badan dan atau moral bahkan perampasan sebagian kekayaan bagi pelakunnya.
Problematika secara teoritis penerapan norma bagi penyalagunaan Narkotika sebagai manusia pencari keadilan, menurut Hans Kelsen keadilan yang mutlak (absolut justeice) bagi setiap orang harusla berdasarkan hukum positif. Terkait pendapat Kelsen ini, Ketika majelis hakim mengambil Keputusan tidak berdasar pada Undang-undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU No. 35 tahun 2009) yang mengatur hukuman rehabilitasi bagi penyalaguna dan pidana penjara atau pidana mati bagi pengedar dan Bandar. Keadaan ini disebabkan karena aturan hukum tentang penjatuhan pidana terhadap penyalaguna, Pengedar dan Bandar masih multitafsir, padahan menurun Lon L. Fuller suatu aturan yang multitafsir bukanlah aturan hukum yang baik.
Oleh karenannya, penegakan hukum pada tingkat pemeriksaan kepada pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan Narkotika dengan jalan memenjarakan merupakan tindakan perampasan hak hidup yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), namun terbukti malakukan tindak pidana sebagai pengedar atau bandar, maka hak kemerdekaan seseorang bisa dicabut karena telah melakukan delik dan hal ini menjadi sesuatu yang mutlak menurut hukum harus ada hukuman penjara untuk membatasi hak seseorang. Pidana mati disamping sebagai sanksi yang paling berat dan merupakan hukuman yang umumnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang menanti eksekusi. Pidana mati tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diwarisi dari Pemerintah Kolonial Belanda. Adapun dalam KUHP yang baru disahkan pemerintah, Pidana mati diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 102 yang intinya pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai Upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dalam mengayomi masyarakat. Perubahan paradigma pidana mati dalam KUHP yang baru ini didasarkan amandemen kedua Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, karena itu nonderogable right sifatnya atau HAM yang tidak dapat dikurangi dalam hal apapun.
Secara sosiologis, pelaksanaan sanksi pidana mati kembali ramai diperbincangkan oleh Indonesia dan bahkan dikalangan Internasional. Hal tersebut dipengaruhi oleh rencana pemerintah Indonesia yang akan mengeksekusi terpidana mati tahap dua yang umumnya terpidana kasus Narkotika. Rencana tersebut kemudian terlaksana pada tangga 29 April 2015 pada dinihari di Nusakambangan. Delapan terpidana mati kasus Narkotika telah dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sementara terpidana asal Filipina ditunda eksekusinya. Terpidana asal Australia, Nigeria, Brasiil, dan Indonesia dieksekusi oleh regu tembak setelah notifikasi pelaksanaan sanksi pidana mati dikeluarkan akhir pekan. Para terpidana mengajukan berbagai langkah hukum, termasuk menggugat Keputusan Presiden Joko Widodo yang menolak memberikan pengampunan.
Selain Undang-Undang Narkotika sanksi pidana mati juga diatur dalam beberapa peraturan lainya, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana Korupsi. Dalam penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa ancaman pidana mati itu diadakan dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Hukuman mati juga diatur dalam UU No. 31 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok tenaga Atom dalam pasal 22 yang dimaksud dengan ketentuan ini membuka rahasia tenaga atom sedangkan pada Pasal 23 ini menyangkut dengan kepentingan negara yang harus dilindungi maka pelanggaran atasnya diancam pidana berat. Ancaman pidana mati juga diatur dalam UU No. 15 Tahun 2003 tentang tindak pidana terorisme. Kejahatan terorisme merupakan kejahatan berat yang tergolong dalam extra-Ordinary Crime atau kejahatan luar biasa dan dikategorikan juga sebagai kejahatan kemanusiaan (Crime Against to Humanity) sehingga pemberantasan dan penanggulangannya tentu berbeda dengan kejahatan-kejahatan biasa dengan menjatuhkan sanksi pidana mati pada pelaku tindak pidana terorisme, maka hal tersebut dapat memberikan efek jera di tengah masyarakat.
Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan luar biasa. UU No. 21 (Prp) Tahun 1959 tentang tidak pidana Ekonomi, ketentuan ini juga mencantumkan hukuman mati dalam Pasal 1. Pada ketentuan ini delik ekonomi yang dilakukan dengan keadaan yang memperberat pidana yaitu dapat menimbulkan kekacauan di bidang perekonomian dalam masyarakat dapat dipidana mati. Pasal ini mengisyaratkan juga agar penuntut umum dan Hakim harus dapat menunjukan adanya keadaan itu dalam tuntutannya atau dalam putusan hakim.
B. Pidana mati dan kontrofersi peraturannya
Penerapan pidana mati dan peraturannya menjadi topik kontroversial di banyak negara bahkan di dunia, termasuk Indonesia.
Sanksi pidana mati merupakan bentuk hukuman yang melibatkan penghilangan nyawa seseorang oleh negara. Sanksi ini dikenakan pada pelaku kejahatan yang dianggap sangat serius, seperti pembunuhan berencana, aksi teror, obat terlarang, atau perbuatan melawan ketertiban negara. Pidana mati dapat dikatakan sebagai pidana yang paling kejam, karena tidak ada lagi harapan bagi terpidana untuk memperbaiki kejahatannya. namun disisi lain hukuman mati banyak dikritik efektivitasnya karena dianggap melanggar hak asasi manusia yakni hak untuk hidup.
Saknsi pidana mati merupakan jenis-jenis hukum pidana yang berlaku di Indonesi. Bentuk pidana tersebut merupakan sanksi yang didapatkan oleh seseorang yang melanggar ketentua Undang-Undang, Sedangkan pidana mati merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan dilaksanakan sanksi pidana mati pada hakekatnya, agar masyarakat melihat bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentraman dalam masyarakat.
Menurut Muladi, dalam perangkat tujuan pemidanaan tersebut harus tercakup dua hal, yaitu: pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku; kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat.
Dalam buku Kontroversi hukuman mati yang disusun oleh Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, memuat beberapa pendapat yang pro dan yang kontra terhadap hukuman mati oleh beberapa ahli hukum Indonesia. Pihak yang kontra di antaranya adalah: J.E. Shatepy yang menyatakan tidak ingin adanya penyelesaian dengan pidana mati. Adapun hukuman mati merupakan suatu yang tidak pantas yang disandarkan kepada ajaran agamanya yakni kristen.
Pendapat kontra lainnya datang dari B. Arief Sidharta yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena tidak dapat memenuhi semua unsur yang ada. Unsur-unsur yang harus dipenuhi yang pertama, sanksi pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkret tentang penilaian masyarakat tentang perbuatan yang dilakukan oleh terpidana; bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat sesamanya dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat. Kedua, sanksi pidana harus merupakan peringatanagar orang mejauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana itu. Ketiga pengenaan pidana itu harus diserahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-nilai kemanusiaannya sehingga mampu mengendalikan kecenderungan-kecenderungan yang negatif. Namun hukuman mati menurut Arif Sidharta hanya memenuhi aspek pertama dan kedua, tidak dengan aspek ketiga.
Pidana mati didefinisikan sebagai suatu nestapa atau penyiksaan dan memberikan penderitaan bagi Masyarat dan melanggar norma-norma yang bertentangan dengan kehidupan manusia, dimana pidana mati sangat berkaitan dengan pidana dan pemidanaan. Secara substansial, hukuman mati itu merupakan salah satu bentuk sanksi yang diberlakukan pada pelanggar hukum, khususnya palanggaran berat. Hukuman mati dikenal dengan suatu bentuk hukuman yang kejam dan tidak kenal ampun. Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati. berikut adalah beberapa pandang para ahli mengenai relevansi pidana mati.
Disisi lain Indonesia merupakan negara yang meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dimana deklarasi tersebut menganggap bahwa hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia, sehingga tidak lagi diperbolehkan untuk diterapkan pada pelaku kejahatan. pengakuan dan penerapan hukuman mati di Indonesia sampai sekarang masih saja mengundang perdebatan, di satu sisi dipandang sebagai perlindungan terhadap kepentingan masyarakat dan sebagai respon terhadap kejahatan berat yang dianggap mengancam nyawa manusia atau keamanan negara,
Secara etimologi HAM berasal dari bahasa Inggris yaitu human right dan dalam bahasa Belanda menselijke. Selanjutnya secara terminologi HAM memiliki arti hak-hak pokok atau hak-hak dasar yang telah ada sejak Manusia dilahirkan sebagai karunia yang telah diberikan tuhan, semata-mata diberikan berdasarkan martabat manusia bukan karena diberikan berdasarkan hukum positif atau pemberian dari masyarakat. Mengutip pendapat James, hak asasi manusia merupakan hak universal yang dimiliki manusia karena posisi dan martabatnya sebagai manusia. Yang mana hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan warna kulit, suku, bangsa, agama dan kedudukannya dalam masyarakat yang mana hal ini diisyaratkan dapat diterapkan dalam semua negara di dunia. Adanya hak untuk hidup menjadi hak yang bersifat menyeluruh, hak tersebut membebaskan kehidupan manusia sendiri untuk melakukan apapun yang mereka inginkan dan tidak ada yang dapat mengambil hak hidup manusia tanpa adanya persetujuan. Sehingga hak hidup yang memiliki sifat non derogable right merupakan HAM yang tidak dapat diambil, dikurangi atau ditunda pemenuhannya dalam keadaan apapun.
Masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia jelas menimbulkan kontoversi. Sebab konsep hak asasi manusia sendiri yang secara tegas menolak adanya hukuman mati karena sifat dari hak asasi manusia tersebut yang mendukung adanya keberadaan hak hidup bagi setiap individu. Sesuai yang tercantum dalam Pasal 28 I yang menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, yang pada intinya seseorang harus bisa mempertahankan hak hidupnya. Namun dalam Pasal 28 J menyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang supaya dapat menjamin pengakuan serta penghormatan hak dan kebebasan orang lain. Yang intinya pasal tersebut meminta pertanggung jawaban bagi pelanggar HAM, yang mana adanya vonis hukuman mati semata-mata sebagai dasar pembelaan terhadap korban yang hak asasinya telah dirampas oleh terpidana. Pasal ini mengingatkan bahwa setiap orang tidak dapat mencabut hak hidup orang lain dan harus saling menghormati hak asasi terhadap sesama
Meskipun Indonesia telah meratifikasi DUHAM dan ICCPR, hukum positif Indonesia masih memberlakukan hukuman mati yang terdapat dalam dalam sejumlah Undang-undang seperti KUHP, Pengadilan HAM, Tindak Pidana Terorisme, Tindak Pidana Korupsi serta Tindak Pidana Narkotika sesuai Putusan final Pengadilan yang berwenang (Komnas HAM RI, 2021). Hal ini diperkuat dengan Putusan MK dalam memutuskan pidana mati yang diancamkan pada kejahatan Narkotika dalam Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Adanya hukuman mati tersebut tidak bertentangan dengan hak hidup yang telah dijamin oleh UUD 1945, sebab konstitusi Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak asasi manusia. Mulai Pasal 28A hingga 28I UUD NRI Tahun 1945 menjamin hak asasi semua warga oleh konstitusi namun dibatasi dengan Pasal yang menjadi kunci yaitu Pasal 28J bahwa hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Hal ini ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyampaikan pembatasan hak asasi sesorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan masih memberlakukan hukuman mati pada kejahatan terorisme, MK menilai bahwa Indonesia tidak melanggar perjanjian Internasional seperti halnya Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang melarang hukuman mati. MK juga menyampaikan dalam Pasal 6 ayat (2) ICCPR masih memperbolehkan hukuman mati untuk kejahatan paling serius
Sebagai negara yang mempertimbangkan keberadaan HAM sesuai dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 dan amandemen Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yang ke-2 mulai dari Pasal 28A sampai Pasal 28J dengan pokok pembahasan mengenai HAM. Tidak hanya berdasarkan kedua aturan hukum tersebut Indonesia mempertegas pengakuannya tentang HAM terdapat dalam TAP MPR NO XVII tahun 1998 tentang pembentukan Komisi Nasional Tentang Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) namun dengan adanya aturan tersebut tidak membuat terhapusnya hukuman mati
1) Pendapat Pro Hukuman Mati.
Menurut Prof. Roeslan Saleh mengatakan pidana mati adalah suatu upaya yang radikal, untuk meniadakan orang-orang yang tidak bisa diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka di dalam penjarapenjara yang demikian besar.
a) Bichon Van Yssel Mode, yang menyetujui dengan adanya hukuman mati, mengatakan antara lain: “ancaman serta pelaksanaan hukuman mati itu harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyrakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya”.
b) Lamborso dan Garlofalo, berpendapat bahwa: Hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin diperbaiki lagi dengan perkataan lain hukuman mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan adanya hukuman mati ini maka hilanglah pula kewajibankewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang demikian besar biayanya. Begitu juga hilanglah ketakutan-ketakutan kalau orang melarikan diri dari penjara dan membuat kejahatan lagi di lingkungan masyarakat”.
c) Prof. Oemar Seno Adji, S.H memiliki pandangan dan prinsip setuju untuk dilakukannya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana yang sifatnya keras atau Extra Ordinary Crime seperti korupsi, narkotika, dan terorisme yang sudah jelas sangat berdampak buruk bagi peradaban kemanusiaan.
2) Pendapat kontra terhadap hukuman mati
a) Amnesti internasional menolak hukuman mati dalam keadaan apapun, dengan mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia karena sudah bertentangan dan melanggar ketentuan hak mendasar dan tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun, yaitu hak untuk hidup.
b) Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H mengemukakan pendapatnya bahwa keberatan yang terang yang dirasakan oleh umum terhadap hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila kemudian terbukti bahwa putusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati berdasarkan atas kekeliruan dan keterangan-keterangannya ternyata tidak benar.
c) Dr. Adnan Buyung Nasution, S.H mengemukakan secara prinsipil hukuman mati atu pidana mati haruslah dihapuskan dan sebagai penggantinya cukuplah sanksi pidana maksimum berupa hukuman seumur hidup. Hukuman ini pun djatuhkan dengan ketentuan bahwa setelah selang waktu tertentu, harus dapat dirubah menajdi hukuman penjara 20 tahun sehingga orang yang bersangkutan (terpidana) masih ada harapan untuk mendapatkan remisi hukuman dan akhirnya kembali ketengah-tengah masyarakat. Dengan demikian di satu pihak diharuskan sifat fatal dari pidana mati dan ketertiban masyarakat tetap terlindungi karena yang terpidana diasingkan, tetapi dilain pihak dibuka peluang bagi terpidana untuk dalam jangka waktu tertentu bertaubat dan memperbaiki dirinya dan menjadi warga neraga yang berguna bagi masyarakatnya.
C. Pengaturan pidana mati dalam Undang-Undang No 1 tahun 2023
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia mengatur hak setiap individu untuk menjalani kehidupan, menjaga kelangsungan hidup, dan memperoleh standar hidup yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan. Hak hidup juga diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil tentang hak asasi manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan hukuman mati adalah hukuman yang dijalankan dengan membunuh, menembak, atau menggantung orang yang bersalah. Hukuman mati adalah pencabutan nyawa terhadap terpidana. Hukuman mati akan diberikan kepada pelaku kejahatan tergantung jurisdiksi, namun biasanya melibatkan kejahatan yang serius terhadap seseorang, seperti pembunuhan (berencana atau tidak), pembunuhan massal, pemerkosaan (seringkali juga termasuk kekerasan seksual terhadap anak, terorisme, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida, ditambah seperti kejahatan terhadap negara seperti upaya untuk menggulingkan pemerintahan, makar, spionase, penghasutan, dan pembajakan, serta kejahatan lainnya seperti residivisme, pencurian yang serius, penculikan, serta penyelundupan, perdagangan, atau kepemilikan Narkotika)
Berbeda dengan KUHP lama, dalam KUHP baru, pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir dalam penjatuhan sanksi pidana, sebagaimana termasuk dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Dalam ketentuan UU tersebut dinyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun. Dalam masa percobaan ini, apabila terdakwa berkeinginan untuk memperbaiki dirinya dan menunjukkan sikap yang terpuji, maka pidana mati yang telah ditetapkan dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Pidana mati yang diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dalam pasal 98 UU itu disebutkan bahwa hukuman mati atau pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan (untuk) mengayomi masyarakat. Hal ihwal pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Pasal 99 UU Nomor 1 tahun 2023,
1. Pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
2. Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
3. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak atau dengan cara lain yang ditentukan dalam Undang Undang.
4. Pelaksanaan pidana mati terhadap perempuan hamil, perempuan yang sedang menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai perempuan tersebut melahirkan, perempuan tersebut tidak lagi menyusui bayinya, atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir. Penerapan hukuman mati dalam UU tersebut diatur dalam Pasal 100 dan 101. Berikut bunyinya: Pasal 100 UU Nomor 1 Tahun 2023.
1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri.
b) peran terdakwa dalam tindak pidana.
c) ada alasan meringankan.
2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.
3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) Hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung
Bilamanakah dalam hal permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan Presiden tersebut memberikan kejelasan untuk terpidana. Dalam penjelasan atas UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP disebutkan bahwa pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Berikut bunyi penjelasan Pasal 98 UU No 1 Tahun 2023 tentang hukuman mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.
Penjelasan Pasal 98 UU No 1 Tahun 2023 pidana mati tidak terdapat dalam stelsel pidana pokok. Pidana mati ditentukan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati adalah pidana yang paling berat dan harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pidana mati dijatuhkan dengan masa percobaan, sehingga dalam tenggang waktu masa percobaan tersebut terpidana diharapkan dapat memperbaiki diri sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan, dan dapat diganti dengan pidana penjara seumur hidup. Untuk kedepan terdapat beberapa perubahan penting terkait hukuman mati ini, terutama pembaharuan yang telah dilakukan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Pasal 100 Ayat 1 KUHP mengatur, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan memerhatikan rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri atau peran terdakwa dalam tindak pidana. Namun dalam Pasal 100 Ayat 2 dijelaskan, pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. maka ketika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Yakni, dengan keputusan presiden (Keppres) setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). ″Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada Ayat 4 dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan,″ bunyi Pasal 100 Ayat 5 KUHP. ″Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung,″ (Pasal 100 Ayat 6 KUHP).
Keberadaan KUHP Nasional dapat diapresiasi, tetapi tidak sedikit pula yang melancarkan kritik khususnya mengenai Pasal 100 yang mengatur penjatuhan masa percobaan dalam pidana mati selama 10 tahun, sehingga bisa dikonversi menjadi hukuman seumur hidup. Ketentuan pidana mati ini kembali dibahas dalam gelaran focus group discussion (FGD) bertajuk “Menjembatani jurang kematian: Perlindungan hak untuk hidup melalui kebijakan perantara (Interim)” di Bandung pada Jumat 19 Mei 2023 kemarin. Diskusi ini menghadirkan narasumber dari masyarakat sipil dan akademisi hukum yang memberi pandangannya atas pengaturan pidana mati dalam UU No 1/2023. Diskusi ini bagian dari serangkaian diskusi sebelumnya karena dinilai ada kekosongan hukum pengaturan pidana mati dalam UU No 1/2023.
Pengaturan masa percobaan 10 tahun kepada terpidana mati dalam UU No 1/2023 adalah jalan tengah bagi perdebatan penghapusan pidana mati (abolisionis) dan pemberlakuan pidana mati (retensionis). Menurutnya, penerapan masa percobaan dalam vonis atau pidana mati mencerminkan nilai-nilai Pancasila karena berupaya menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat. Kendati demikian, Pohan menilai semangat ini terancam dengan norma dalam Pasal 100 ayat (2) UU No 1/2023 yang mewajibkan dimuatnya masa percobaan dalam amar putusan pengadilan. “Jika melihat naskah akademik (dari KUHP baru/UU 1/2023) sebenarnya sudah jelas masa percobaan ini diberikan secara otomatis. Namun sekarang diwajibkan Pasal 100 ayat (2) (UU 1/2023) untuk dimuat dalam Putusan. Apakah berarti kalau tidak dicantumkan (dalam amar putusan), tidak ada masa percobaan? Inilah yang jangan sampai terjadi,” terangnya. Selain dari pelaksanaan masa percobaan yang membutuhkan peraturan pelaksana, Pohan mengusulkan pentingnya peraturan pelaksana bagi kejaksaan dan pengadilan menggunakan pidana mati pasca berlakunya UU No 1/2023. Dalam KUHP baru pidana mati dituliskan sebagai pidana yang bersifat khusus. Artinya sebisa mungkin ia tidak digunakan. Parameter yang dapat digunakan oleh hakim, seperti tidak dijatuhkan atas dasar diskriminasi, tidak ditemukan dugaan pelanggaran hak hukum terdakwa selama proses pidana berlangsung, dan dijatuhkan hanya kepada residivis (pelaku berulang) dari tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara untuk waktu tertentu. Dalam KUHP Nasional yang baru, terdapat pembaruan mengenai ketentuan pidana mati. Salah satu diantaranya adalah pidana mati yang semula merupakan pidana pokok menjadi pidana alternatif. Selain itu, pelaksanaan pidana mati baru bisa dilakukan dengan penundaan eksekusi pidana mati selama sepuluh tahun. Penundaan eksekusi pidana mati sudah ditetapkan secara tertulis dalam Pasal 100 KUHP Nasional. Pada Pasal 100 ayat (1) KUHP Nasional tercantum bahwa, eksekusi pidana mati ditentukan oleh penundaan pidana mati selama 10 (sepuluh) tahun yang memperhatikan dua syarat yaitu, rasa penyesalan dan usaha memperbaiki diri dan peran terdakwa pidana mati dalam tindak pidana. Selanjutnya, dalam Pasal 100 ayat (4) KUHP Nasional dikatakan bahwa jika terpidana berkelakuan baik, maka dengan keputusan presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung, pidana mati dapat berubah menjadi penjara seumur hidup
BAB III
Sanksi Pidana Mati dalam Undang-Undang Narkotika
A. Dasar pengancaman pidana mati dalam tindak Pidana Narkotika.
Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Meskipun Narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila Narkotika digunakan tidak sesuai standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran Narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan Nasional.
Seperti yang kita sudah ketahui bersama, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. dan warga negara wajib untuk taat terhadap hukum. Berbicara soal Narkotika, negara kita sudah mempunyai dasar hukumnya yaitu UU No. 35 Tahun 2009 yang mengganti Undang-Undang sebelumnya yaitu UU No. 22 Tahun 1997
Adanya perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu penyebab diproduksinya berbagai macam jenis Narkotika, kecuali itu, bahwa pada era pesatnya kemajuan komunikasi seperti sekarang ini terasa semakin mudahnya peredaran Narkotika yang dapat menjangkau wilayah terpencil seluruh Indonesia. Kondisi objektif semacam itulah yang menyebabkan dibuatnya UU No.35 Tahun 2009 untuk melengkapi kekurangan Undang-Undang sebelumnya. Kedua Undang-Undang tersebut pada pokoknya mengatur tentang Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Pelanggaran terhadap peraturan ini, diancam dengan hukuman pidana berat.
Dalam Narkotika telah diatur beberapa ketentuan yang membahas tentang pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Ketentuan tentang dasar, asas, dan tujuan pengaturan Narkotika, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Dalam penulisan ini, penulis menemukan pengaturan hukuman mati dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Sejak lama para pencari keadilan/masyarakat mendambakan Penegakan hukum yang adil. Namun, praktiknya dalam penegakan hukum mengedepankan nilai kepastian hukum dibandingkan dengan rasa keadilan masyarakat. berbagai putusan pengadilan, menggambarkan penegakan hukum cenderung berpandangan bahwa hukum adalah Undang-Undang sehingga menimbulkan kekecewaan masyarat terhadap penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi pecandu dan penyalaguna Narkotika.
Putusan pengadilan yang dimaksut dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 (UU Narkotika) untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalaguna Narkotika dan mencega serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dikenal pemberlakuan pidana mati sanksi yang diatur dan dimaksut didalam UU Narkotika memuat ketentuan minimum dan maksimum. Tindak pidana Narkotika merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara luar biasa seperti pemberantas ancaman sanksi pidana namun apakah telah sesuai dengan maksut dan tujuan dari Equality before the law didalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengaturan pidana minimal khusus dalam UU Narkotika menimbulkan asumsi bahwa Undang-Undang itu bertujuan untuk memberikan hukuman yang berat terhadap pelaku tindak pidana Narkotika. Sedangkan pengaturan pidana maksimum khusus bertujuan untuk mencegah tindakan hakim yang sewenang-wenang dan menjatuhkan Putusan pemidanaan agar tidak melebihi batas yang telah ditentukan dalam Undang-Undang. Hal itu berarti Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ketentuan pidana maksimum khususyang telah diatur dalam Undang-Undang, karena terdakwa juga harus mendapatkan perlindungan hukum. Konotasi perlindungan hukum dimaksud disini, diantaranya adalah penerapan hukuman mati melalui penjatuhan pertimbangan Hakim dalam penegakan hukum.
Berikut adalah UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam Undang-undang ini terdapat pada Pasal-Pasal berikut:
Pasal 113 ayat (2) – perbuatan memproduksi, mengimpor, atau menyalurkan Narkotika golongan I dalam bentuk tanaman beratnya 1kg atau 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram.
Pasal 114 ayat (2) – perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan atau menerima Narkotika golongan I dalam bentuk tanaman beratnya 1 kg atau 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram.
Pasal 116 ayat (2) – penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika golongan I untuk digunakan orang lain, mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen.
Pasal 118 ayat (2) – memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika golongan II beratnya melebihi 5 gram.
Pasal 119 ayat (2) – menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam hal jual beli, menukar, menyerahkan Narkotika golongan II beratnya melebihi 5 gram.
Pasal 121 ayat (2) – penggunaan Narkotika untuk orang lain atau pemberian Narkotika golongan II untuk digunakan orang lain, mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen.
Pasal 133 – menyuruh, memberi, atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberi kemudahan, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana terdapat dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129.
Terkait pelaksana pemberian sanksi pidana mati, dapat dilihat dari beberapa contoh Putusan Pengadilan diantaranya:
Tabel. 1.
Putusan pidana mati dalam tindak pidana Narkotika,
Putusan Nomor 317/Pid.Sus /2021/PN.Tjb.
Dakwaan :
Kesatu :
a) Primair :
Diatur dan diancam pidana dalam pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
b) Subsidair Diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 112 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 Ayat (1) ke -1 KUHP dan ke -2 Diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 137 huruf b UU No. 35 tahun 2009.
Menjatuhkan pidana kepada
Terdakwa oleh karena itu dengan
Pidana Mati, Barang Bukti:
– 1 (satu) unit handphone merk Vivo;
– 1 (satu) unit sepeda fitness merk Berwyn.
Amar Putusan:
1) Menyatakan Terdakwa Agung Sugiarto Putra tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama tanpa hak menerima dan menjual Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram dan menerima hibah uang yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika” sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Primair dan Kedua;
2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana: Mati
3) Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
4) Menetapkan barang bukti
1 (satu) unit handphone merk
Vivo. 1 (satu) unit sepeda fitness merk Berwyn.
Dimusnahkan;
3 (tiga) lembar surat pernyataan yang ditulis tangan oleh Agung Sugiarto Putra.
5) Membebankan biaya perkara kepada Negara.

Putusan Nomor 329/Pid.Sus /2021/PN.Tjb.
Dakwaan :
Kesatu :
a) Primair :
Diatur dan diancam pidana dalam Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
b) Subsidair :
Diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 112 ayat (2) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Jo Pasal 55 Ayat (1) ke -1 KUHP Dan Kedua Diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 137 huruf b UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan denda sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milliar rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun.
Barang Bukti:
– (satu) unit handphone merk
Samsung warna gold.
– 1 (satu) potong celana jeans warna biru.
Amar Putusan:
1) Menyatakan Terdakwa Hendra Tua Harahap tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama tanpa hak menerima dan menjual Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram dan beberapa kali menerima hibah uang yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika sebagaimana dalam dakwaan Kesatu Primair dan kedua.
2) Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 (delapan belas) tahun dan denda sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua milliar rupiah) dengan ketentuan jika dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
3) Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4) Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
5) Menetapkan barang bukti berupa.
• 1 (satu) unit handphone merk Samsung warna gold.
• 1 (satu) potong celana jeans warna biru.
Dimusnahkan:
3 (tiga) lembar surat pernyataan yang bertulis tangan atas nama Hendra Tua Harahap.
6) Membebankan kepada Terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp2.000,00 (dua ribu rupiah).
Tabel diatas dilihat bahwa dakwaan tindak pidana Narkotika yang dijatuhkan kepada mereka adlah sama. Yaitu, Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 112 ayat (2) UU RI No 35 Tahun 2009 jo pasal 55 ayat (1) KUHP, dan Pasal 137 huru a UU RI No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kemudian, barang buktinya juga hamper sama dan yang menjadi perbedaan adalah dalam amar putusannya. Hal ini yang membuat sehingga penulis berpendapat bahwa terjadi disparitas putusan hakim dalam putusan tersebut.
B. Perbedaan pendapat terhadap ancaman pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika.
Pidana mati bagi pelaku pidana Narkotika adalah salah satu hukuman yang masih diterapkan di Indonesia di samping beberapa jenis hukuman lain.Meskipun kontroversial, hukuman mati di Negara ini bukanlah hukuman yang dilarang. Karena itu, dalam pandangan sosiologi hukum, khususnya teori pilihan rasional, sikap dan tindakan masyarakat Indonesia memilih menerapkan sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika dapat dibenarkan.
Dalam konteks penerapan hukuman mati bagi pidana narkoba, msyarakat akan bersikap emosional apabila menyaksikan pemberian hukuman kepada pelaku pidana Narkotika yang tidak setimpal. Sementara itu, tindak pidana Narkotika diyakini telah merugikan banyak penduduk di Indonesia.
Indonesia sebagai negara yang terdiri dari jajaran pulau-pulau yang membentang dari sabang hingga merauke menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa bahari terbesar di dunia. Dengan letaknya yang strategis, sebagai titik singgng dalam persilangan perdagangan dan budaya antar bangsa, menjadikan Indonesia memiliki keuntungan dalam hal perdagangan dengan negara dan bangsa lainnya (Gukguk & Jaya, 2019; Reksodiputro, 2012). Letak geografis Indonesia yang strategis dalam jalur perdagangan tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan
perdagangan secara ilegal. Perdagangan secara ilegal tersebut didominasi oleh perdagangan gelap Narkotika. Pada kenyataannya, kejahatan Narkotika memang telah menjadi sebuah kejahatan transnasional yang dilakukan oleh
kelompok kejahatan terorganisir atau organized crime (Busnarma, 2019; Gukguk & Jaya, 2019).
Kejahatan narkotika merupakan kejahatan transnasional dalam artian bahwa semua negara di dunia mengutuk dan melarang segala hal yang terkait dengan perdagangan gelap narkotika tersebut mengingat bahwa Narkotika membei efek atau dampak yang buruk bagi setiap bangsa terutama bagi generasi penerus bangsa (Istighfar, Jaya, & Pujiyono, 2017). Selain daripada itu
maksud dari kejahatan narkotika sebagai kejahatan transnasional adalah bahwa kejahatan Narkotika telah terjadi di semua negara dan kejahatan Narkotika tersebut berpotensi besar terjadi dalam lintas negara (Heriyono, 2020;
Reksodiputro, 2012).
Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia yang turut merasakan efek buruk dari Narkotika dan psikotoprika bagi kehidupan dan kelangsungan suatu bangsa maka dari itu Indoanesia secara tegas menyatakan perang terhadap kejahatan Narkotika dan psikotropika. memerangi kejahatan narkotika dan psikotropika adalah dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotoprika dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Melalui Peraturan Perundang- Undangan tersebut Indonesia secara tegas mengecam segala tindakan dan kejahatan Narkotika. Berdasarkan UU Psikotropika dan UU Narkotika pada beberapa pasalnya diatur mengenai sanksi pidana mati bagi siapa saja yang melanggar UU
Narkotika tersebut.
Penggunaan pidana mati sebagai alat untuk menanggulangi kejahatan juga tidak terlepas dari pro dan kontra, karena masalah pidana mati di
Indonesia sampai saat ini masih merupakan pembicaraan yang dapat menimbulkan problem (Jainah & Handayani, 2019). Hal ini disebabkan karena persepsi tentang pidana mati sangat dipengaruhi oleh latar belakanag budaya dan pandangan hidup bangsa. Masalah pidana mati bertalian erat dengan struktur masyarakat, kondisi politik, dan nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat itu (Sahetapy, 1982).
Menurut pihak pro pidana mati menyatakan bahwa pidana mati dapat dipergunakan sebagai alat radikal untuk mencegah tindakan-tindakan yang di luar batas-batas perikemanusiaan demi terlaksananya cita-cita masyarakat Indoneisa yang adil dan makmur (Istighfar et al., 2017). Namun demikian, menurut pihak kontra pidana mati menyatakan bahwa pidana mati bertentangan
dengan perikemanusiaan dan hak asasi manusia terutama hak untuk hidup sebagaimana yang diatur pada UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa “hak untuk hidup. Adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun” ketentuan ini telah menegasikan keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum Indonesia. Lahirnya Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak bisa tidak berakibat pada inkonstitusionalitas hukuman mati (Lubis, 2009).
Menurut pihak kontra pidana mati konsekuensi logis dari pola pikir diatas adalah bahwa semua produk peraturan Perundang- Undangan yang berada dibawah UUD NRI Tahun 1945 haruslah mengalami perubahan dalam artian Pasal-Pasal mengenai pidana mati harus dihilangkan (Sitanggang & Fakhriah, 2019), terutama berkaitan dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan ancaman pidana mati terhadap kejahatan Narkotika yang diatur dalam UU Narkotika karena hukuman mati dinilai sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup sebagaimana
disebutkan dalam pasal 28A UUD 1945, bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Arief,
2019; Istighfar et al., 2017).
Dalam peraturan yang mengatur sanksi pidana mati dalam kejahatan Narkotika tersebut diajukanlah judicial review ke Mahkamah Konstitusi guna untuk menghapus ancaman pidana mati terhadap kejahatan narkotika karna
pidana mati bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Penelitan mengenai pidana mati dari dulu hingga kini masih relevan untuk dilakukannya pengkajian dikarenakan norma-norma hukum itu berkembang begitu juga dengan masyarakat sebagai subjek dari hukum itu sendiri juga mengalami perubahan dan perkembangan, Penelitian-penelitian terkait pidana mati yang telah ada sebelumnya dewasa ini berkisar mengenai kebijakan formulasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia Indonesia (Batubara, 2014), penelitian lain berfokus pada eksistensi pidana mati dalam hukum pidana (Eleanora, 2012), dan penelitian lainnya seperti efektifitas pidana mati bagi pelaku kejahatan Narkotika di Indonesia (Istighfar et al.,2017).
C. Pengaturan sanksi pidana mati dalam Undang-Undang Narkotika paska ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang kuhp baru.
Hadirnya KUHP baru yang disahkan dalam sidang rapat paripurna DPR yang akan berlaku pada tahun 2026 rupanya telah memberikan angin segar bagi sistem pidana Indonesia khususnya untuk mengatasi deret tunggu eksekusi terpidana mati. Terdapat perbedaan jenis pidana antara pidana pokok antara KUHP lama dengan KUHP baru yaitu hilangnya pidana mati dan pidana kurungan serta bertambahnya sanksi pidana pengawasan dan kerja sosial dalam pidana pokok serta pidana mati termasuk ke dalam pidana bersifat khusus.
1) Kedudukan pidana mati dalam KUHP baru juga masih dipertahankan keberadaannya dan termasuk dalam pidana khusus yang diancamkan secara alternatif dengan masa percobaan 10 tahun. Begitu pun mengenai regulasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika yang semula dari pidana pokok mengalami peralihan menjadi pidana yang bersifat khusus. Artinya eksekusi pidana mati dilaksanakan setelah adanya pertimbangan secara selektif dari masa percobaan tersebut dan upaya hukum yang ditolak.
Pidana mati sebagai sanksi alternatif merupakan jalan tengah seperti yang disampaikan oleh Muladi dalam gagasan tentang “Indonesian way” sebagai jalan tengah pengaturan pidana mati di Indonesia, jalan tengah ini merupakan solusi terhadap perdebatan panjang antara kelompok yang menyetujui (pro) dan menolak (kontra) hukuman mati. Karena disamping itu, pelaku tindak pidana Narkotika
memiliki waktu selama masa percobaan untuk memperbaiki dirinya selama masa percobaan dan bagaimana peran pelaku dalam tindak pidana Narkotika tersebut.
Hal ini merupakan bentuk perhatian dan perlindungan dari pemerintah atau negara kepada masyarakat bagi pelaku yang diancamkan pidana mati khususnya tindak pidana Narkotika sebagai salah satu bentuk manusiawi untuk menghormati dan menghargai hak hidup seseorang dengan memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana Narkotika dengan masa percobaan terlebih dahulu. Meskipun demikian, adanya jaminan komutasi pidana dikhawatirkan mendatangkan persoalan yang baru khususnya untuk pelaku tindak pidana Narkotika.
2) Kebijakan tindak pidana Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memiliki perubahan dari aturan sebelumnya karena melihat kegentingan kejahatan ini bukan hanya dioperasikan oleh perorangan tetapi melibatkan sindikat yang terorganisasi dan tindak pidana Narkotika berkecenderungan meningkat tiap tahunnya. Secara filosofis peraturan ini memiliki kesamaan filosofis dengan peraturan terdahulu, perbedaanya yaitu penambahan prekursor Narkotika. Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 35/2009 Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam UU ini.
Ancaman pidana mati dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika semakin diperkuatkan kedudukannya dilihat dari pemberlakuan kepada pelaku tindak pidana mati Narkotika golongan I dan golongan II. Ketentuan pidana dirumuskan di Bab XVI dari Pasal 111 sampai Pasal 148 yang didalamnya terdapat empat kategori perbuatan dengan ancaman pidana mati dalam Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2) dan Pasal 132, yaitu
1) Kategori pertama, yakni perbuatan memproduksi, mengimpor,mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I dan golongan II.
2) Kategori kedua, yakni perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I dan golongan II.
3) Kategori ketiga, yakni penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika untuk digunakan orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen golongan I dan golongan II.
4) Kategori keempat, percobaan permufakatan jahat dan dilakukan secara terorganisasi untuk pasal yang dijatuhi pidana mati dijatuhi pidana yang sama.
Perjalanan panjang untuk menghasilkan hukum pidana nasional yang dibentuk oleh pembentuk Undang-Undang akhirnya berhasil dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Begitupun sanksi pidana baru terdapat dalam Pasal 64 dan pengaturan mengenai pidana mati dipisahkan bukanlagi menjadi pidana pokok tetapi yang bersifat khusus di Pasal 67.
Pembaharuan KUHP ini memasukkan ketentuan pidana tindak pidana khusus yang pada awalnya tidak termuat di KUHP lama dan termasuk ke dalam lex speciallis yaitu tindak pidana berat terhadap HAM, tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana Narkotika. Pengaturan ketentuan pidana dalam UU Narkotika termuat dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 yang dicabut sebagian oleh KUHP baru ini yang diatur dalam Pasal 609 sampai dengan Pasal 611. Kedudukan pidana mati bagi pelaku tindak pidana Narkotika dalam KUHP baru terdiri dari 2 pasal yaitu untuk setiap orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan:
Pasal 610 ayat (2) huruf a: “Narkotika golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, atau Narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VI”.
Pasal 610 ayat (2) huruf b: “Narkotika golongan II yang beratnya melebihi 5 (lima) gram dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori V dan paling banyak kategori VI”.
Pengaturan dari pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pidana mati memiliki beberapa kebijakan yang baru dengan Undang-Undang sebelumnya yaitu: pertama, pidana mati termasuk dalam pidana yang bersifat khusus yang diancamkan secara alternatif. Sebagaimana kebijakan ini dibuat dengan penuh pertimbangan pidana mati sudah mengalami modernisasi tanpa harus dicabut tetapi diancamkan sebagai pidana alternatif. Pertimbangan
tersebut menunjukkan bahwa pidana mati haruslah dimodersasikan dalam artian mengambil jalan tengah terhadap persoalan pidana mati yang secara ekstrem di satu sisi ingin mempertahankan (kelompak retensionisme) dan di sisi yang lain ingin menghapuskannya (kelompok abolisionisme).
Hal ini disampaikan di Pasal 98 KUHP baru bahwa pidana mati
diancamkan secara alternatif sebagai langkah preventif dilakukanya tindak pidana dan mengayomi masyarakat. Mempertahankan kedudukan pidana mati dalam sistem pemidanaan Indonesia sebagai ultimatum remedium guna menimbulkan rasa takut kepada seseorang dan menghindari dilakukannya kejahatan yang bersifat berat dan serius dengan tujuan untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. Dengan ini, maka pidana mati tidak perlu dihapuskan melainkan menjadi langkah preventif dengan harapan dapat memberikan rasa takut dan efek jera kepada masyarakat yang tidak ada harapan untuk memperbaiki dirinya, tetapi dengan adanya ancaman alternatif terpidana yang tadinya diancam pidana mati dapat dikomutasi mejadi pidana penjara dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.